Aku hanya sedang ingin berceloteh hingga lelah. Hingga jenuh bahkan
lupa apa itu mengantuk. Hingga lupa bahwa malam sudah berganti fajar.
Aku hanya sedang ingin lupa apa itu sosial media. Apa itu arus
informasi yang dibawa oleh telpon genggam. Apa itu rahasia-rahasia yang
tak lagi rahasia sebab sudah sesumbar itu disuarakan.
Aku hanya sedang ingin berbagi isi kepala dengan seseorang yang
sekiranya mampu menampung segala dan bersedia bertukar kisah. Sebab aku
tahu, porsi untuk mendengar dan didengar tetap harus seimbang.
Aku hanya sedang ingin seperti itu. Secara nyata, bukan melalui
apa-apa yang maya. Aku hanya sedang ingin seperti itu saat ini, sebab
esok mungkin saja inginnya sudah menguap.
Aku hanya sedang ingin berhenti sejenak. Menikmati waktu bukan membunuh
waktu. Tak usah dicemaskan. Sebentar lagi mungkin inginnya pergi
berkelana, berganti menjadi ingin yang lain. Atau bahkan lupa bahwa aku
pernah menjadi ingin.
Via - Hujanmimpi.tumblr.com
Wanita duduk tak pernah sendiri. Selain
buku, kopi dan pemikirannya adalah apa-apa yang membuat jiwanya seperti
ban sepeda anak kecil. Berputar, membawanya ke lain dunia.
Di depan cangkir kosongnya, ia menggambar sebuah garis lurus. Ia
hanya tubuh yang butuh diisi, oleh apapun, dan wanita tak akan berubah
hanya karena hal-hal asing yang mengisinya itu apa.
Di depan gula dalam kertas, ia menggambar garis putus-putus. Ia
mengerti, apa-apa yang manis dikecap tak berarti apa-apa yang bertahan
lama diucap.
Di depan sendok perak bergagang beruang, ia menarik garis tak
simetris. Seperti perjalanannya yang kerap diusir ketika ingin tinggal,
seperti perasaannya yang kerap dipaksa untuk tanggal.
Di depan air panas yang menggolak, tangannya bergetar tak kuasa
menggambar. Kasihan wanita, kerap marahnya adalah apa-apa yang justru
membunuhnya. Ketika meminta pengertian tapi tak dimengerti, ketika ingin
berbicara lantang tapi pemikirannya bungkam; oleh ego-ego ketakutan
bahwa itu akan berbalik menjadi apa-apa yang menikamnya pelan-pelan.
Di depan bijih kopi, ia menggambar garis tipis sekali. Sebuah
pengertian, bahwa terkadang perasaan yang mentah hanyalah rasa-rasa
penasaran sebelum kemudian pergi karena dahaganya telah terhapuskan.
Di depan segelas kopi, ia menggambar garis melingkar. Baginya,
kegagalan-kegagalan yang sama tak pernah sebanding dengan keberaniannya
untuk kembali mencoba; Karena tak serupa kopi; Wanita berhak tahu bahwa
bahagia di tiap sebuah awal akan tetap terasa berbeda kapanpun jua.
P.S: Sebuah puisi yang saya tulis waktu saya kelas dua SMA dan
(anehnya) keluar menjadi juara pertama lomba puisi se-sekolahan saat
itu. Di tulis pukul 5 sore, di ruang satpam, di atas kertas bon makanan,
sembari melihat seorang anak kelas satu duduk menggambar di kursi batu
sambil menunggu jemputannya datang.